Barangkali, itulah sekalimat tanya yang sering kutunjukkan pada diriku sendiri. Aku sama sekali tidak bermaksud menunda, apalagi tidak yakin akan jaminan rezeki dari Allah.
Pun bukan karena tak ada calon-nya, sudah banyak guru-guru yang membantu; bahkan ada yang menawarkan duluan. Tapi entahlah sekali lagi, pertanyaan itu belum bertemu jawaban-nya. Aku, seolah buntu. Seakan taqdir ini adalah memang untuk sendiri. Benarkah?
“Putraku,” tanya ibu saat hal ini kucurhatkan. “Coba telisik sejenak, apakah benar niat menikahmu karena Allah?”
Niat? Bola mataku berputar, menerawang mencari tahu.
Ah-ya, astaghfirullah. Betul… ada yang salah dengan niat ini. Aku ingin menikah karna gengsi melihat teman yang sudah duluan, sebab kesal dengan pertanyaan ‘kapan nyusul’, atau jengkel dengan kompor dan candaan orang lain.
Sama sekali bukan karena Allah. Padahal niatlah yang paling penting, hingga, ibadah sekaliber Haji tidak akan diterima tanpa niat yang lurus.
Namun ibadah yang dengan sesimpel senyum saja, asal niat benar akan mendatangkan pahala.
Baiklah. Sekarang tugasku meluruskan niat.
“Lalu, Nak,” ujar ibu melanjutkan. “Coba intip dulu, adakah masa lalu yang belum kau lepaskan?”
Masa lalu? Aku mengangkat bola mata, mencoba mengingat.
Astagfirullah. Ya… diakui atau tidak, sampai detik ini, masih banyak cerita yang belum ikhlas kulepaskan. Masih banyak kisah yang belum tulus kutinggalkan.
Bukan ingin kembali. Bukan. Tapi, ada jutaan hal yang belum sempurna ku-maafkan. Termasuk memaafkan diri sendiri.
Baiklah, aku tidak boleh lagi terusik oleh bisik-bisik kenangan. Urusan dengan masa lalu itu harus kuselesaikan saat ini juga. Detik ini juga. Bismillah.
“Dan terakhir, Anakku.” tanya ibu. “Adakah sebuah nama yang masih terselip di hatimu?”
Aku memejamkan mata secara perlahan. Sebuah nama?
Astaghfirullah, aku tidak bisa berbohong bahwa memang, ada sebuah nama yang masih kuharapkan. Ada sesosok wajah yang selalu ku-impikan. Ada dia yang kutunggu padahal ku sadar ia tak pernah bilang berjanji akan datang.
Sayangnya, seseorang itu tak mau membuka pintu walau aku sudah mengetuknya. Sialnya, ia tak sudi menyahut meski berulang kali kusapa. Dan aku patah hati karena itu?
Duhai, bagaimana mungkin Allah mengabulkan doaku, sedang diri ini masih berharap pada selainNya?
“Jadi, Nak,” seru ibu. “Luruskan niatmu, ya. Memang penting menikah DENGAN siapa. Namun yang jauh lebih penting adalah menikah KARENA siapa. Dan pastikan Allah sebagai alasan-nya.”
“Kamu juga jangan mau kembali ke masa lalu ya, Nak.” terus ibu, “Sebab di sana, tak ada jodohmu. Ia ada di depan, jadi mengapa kau malah mencarinya ke belakang?”
Aku mengangguk, nyengir. Iya, ya.
“Dan, ini yang terpenting,” urai ibu. “Jika cinta Allah sudah cukup besar, mengapa kau masih mengemis cinta pada selain-Nya? Lepaskan ia dari genggaman-mu, Nak. Agar jemarimu dapat kau-gunakan untuk menggamit jodohmu itu.”
Aku menukilkan senyuman lembut.
Kini aku sadar, jodoh itu sebenarnya dekat, kitanya yang malah menjauh. Jodoh itu sudah nampak di depan mata, kitanya yang sibuk mencari ke mana-mana. Jodoh itu ada, kitanya yang kurang percaya.
Ah benar, jika jodoh tak kunjung datang, barangkali, masalahnya bukan ini itu. Masalahnya adalah…
Ya, kita sendiri. :’)
Penulis : Aby A. Izzuddin