“Kok nggak ada matanya?”
Ucap putri pertama ketika melihat buku islami bertemakan ramadhan.
Putri pertama saya memang cukup kritis ketika melihat sesuatu yang menurutnya tidak biasa.
Kemudian saya bilang, “Iya Kak, soalnya kalau gambarnya dibuat sempurna nanti Allah suruh pembuatnya buat menghidupkan gambarnya, makanya dibikin ngga sempurna gambarnya dengan cara dihapus matanya "
“Oohh…” kata dia. Entah dia paham atau tidak kalimat saya barusan.
Perkara lihat buku dan ada sali -karakter di buku anak- dan foto tangannya ngga keliatan, dia bilang hal yang serupa,
“Ayah..mana tangannya..”
“Tangannya nggak kelihatan, Kak. Ketutupan badannya,” jawab saya lagi.
Anak saya suka sekali membaca buku, sejak awal kami membuat suasana rumah penuh dengan buku tanpa distraksi gadget.
Istri saya yang paling semangat ketika membeli buku hardcover yang isinya juga “hard” sehingga aman ketika halaman dibolak-balik oleh anak, jadi tidak mudah robek.
Sampai usia 3 tahun di pertengahan oktober tahun ini, anak kami masih suka dibacakan buku hingga kadang kami kewalahan karena saat ini kami sudah punya putri kedua yang usianya terpaut 2 tahun kurang sedikit.
Perasaan campur aduk antara senang, bingung, kadang sedikit kesal ketika anak kami selalu meminta membacakan buku di momen yang kurang pas, putri kedua kami sedang rewel misalnya, atau kami sedang mengerjakan sesuatu yang tidak bisa kami tinggalkan.
Walaupun seperti itu, tetap ada kebanggaan buat kami sebagai orangtua, karena anak kami memiliki kosakata yang cukup banyak, saya rasa karena pada usia 2 tahun pertama sering sekali kami bacakan buku, jadi perbendaharaan katanya cukup melimpah.
Entahlah, apakah seusianya memang sudah seharusnya bisa mengucapkan kata-kata yang menurut kami cukup kompleks, yang pasti ini sebuah perjalanan panjang kami untuk mengusahakan putri kami mendapatkan pendidikan yang terbaik, dimulai dari membaca buku😄
Kalau baca tulisan ini, berarti kamu juga suka membaca, karena blog ini juga isinya tulisan bukan? 😁
(2/100)
#100daystooffload
